Low Back Pain (LBP)

                                                                                  BAB I
PENDAHULUAN

    A.  Latar Belakang
Low Back Pain (LBP) atau Nyeri Punggung Bawah (NPB) adalah suatu gejala dan bukan merupakan suatu diagnosis. Pada beberapa kasus gejalanya sesuai dengan diagnosis patologisnya dengan ketepatan yang tinggi, namun sebagian besar kasus, diagnosisnya tidak pasti dan berlangsung lama (Wagiu, 2012).
LBP atau NPB merupakan salah satu  masalah kesehatan yang sering dijumpai di masyarakat. World Health Organization (WHO) menyatakan kira-kira 150 jenis gangguan muskulo skeletal di derita oleh ratusan juta manusia yang menyebabkan nyeri dan inflamasi yang sangat lama serta disabilitas atau keterbatasan fungsional, sehingga menyebabkan gangguan psikologik dan social penderita. Nyeri yang diakibatkan oleh gangguan tersebut salah satunya adalah keluhan nyeri punggung bawah yang merupakan keluhan paling banyak ditemukan diantara keluhan nyeri yang lain. Laporan ini berhubungan dengan penetapan dekade 2000-2010 oleh WHO sebagai dekade tulang dan persendian (Bone and Joint Decade 2000-2010),dimana penyakit gangguan musculo skeletal telah menjadi masalah yang banyak dijumpai di pusat-pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia (WHO, 2003).
LBP merupakan keluhan yang spesifik dan paling banyak dikonsultasikan pada dokter umum. Hampir 70%-80% penduduk  Negara maju pernah mengalaminya. LBP merupakan masalah kesehatan yang  paling penting di semua negara. Prevalensi sepanjang hidup (lifetime) populasi dewasa sekitar 70% dan prevalensi dalam 1 tahun antara 15-45%,dengan puncak prevalensi terjadi pada usia 35 dan 55 tahun. Kebanyakan LBP akut bersifat self limiting dan hanya 2-7% yang menjadi kronis (Jalaluddin, 2008).
Di negara maju seperti di Amerika Serikat prevalensinya dalam satu tahun berkisar antara 15%-20%, sedangkan berdasarkan kunjungan pasien ke dokter adalah 14,3% (Meliawan, 2009). Dalam satu tahun terdapat lebih dari 500.000 kasus nyeri punggung bagian bawah dan dalam 5 tahun angka insiden naik sebanyak 59%. Prevalensi pertahun mencapai15 - 45% dengan titik prevalensi 30%. Sebanyak 80-90% kasus LBP akan sembuh dengan


sendirinya selama 2 minggu. Dari 500.000 kasus tersebut 85% penderitanya adalah usia 18-56 tahun (Wheeler, 2013). Di Swedia,LBP adalah penyebab tersering penyakit kronis pada usia kurang dari 65 tahun dan peringkat kedua setelah penyakit vaskuler pada usia 65 tahun keatas (Kim, 2005). LBP merupakan salah satu masalah sosial utama ekonomi utama di Inggris karena 13% alasan seseorang tidak masuk bekerja disebabkan karena LBP. Insidensi setiap tahun pada orang dewasa mencapai 45% dan paling banyak menyerang usia 35-55 tahun (Amroisa, 2006).
LBP merupakan salah satu keluhan yang dapat menurunkan produktivitas kerja manusia (Suharto, 2005). LBP jarang fatal namun nyeri yang dirasakan dapat membuat penderita mengalami penurunan kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari, problema kesehatan kerja,dan banyak kehilangan jam kerja pada usia produktif maupun usia lanjut,sehingga merupakan alasan terbanyak dalam mencari pengobatan(Yudiyanta, 2007).
Penelitian tentang nyeri punggung bawah yang berhubungan dengan keterbatasan fungsional aktivitas kehidupan sehari-hari belumbanyak dilakukan.Dari 180 penderita nyeri punggung akut yang di ikuti selama satu tahun ternyata 38% mengalami keterbatasan fungsional yang menetap. Keterbatasan fungsional yang menetap bukan saja dipengaruhi oleh beratnya nyeri, tetapi juga faktor premorbid faktor distress psikologi,rendahnya aktivitas fisik, merokok, ketidak puasan dalam pekerjaan, danfaktor yang berhubungan dengan lamanya gejala, luasnya nyeri, dan terbatasnya mobilitas spinal (Thomas, 1999).
Keterbatasan fungsional yang dikarenakan nyeri punggung bawah mengakibatkan tingginya biaya yang dibutuhkan setiap tahun, sehingga terhadap penderita perlu dilakukan evaluasi seberapa besar ketidak mampuan disfungsional yang terjadi dan faktor yang mempengaruhinya (Liebenson, 1999).
LBP juga memiliki implikasi yang luas dalam bidang ekonomi, terutama segi pembiayaan. Di Amerika Serikat keterbatasan fungsional karena LBP merupakan alasan kedua setelah commond cold yang menyebabkan seseorang tidak masuk kerja dan merupakan penyebab keterbatasan fungsional yang paling sering pada usia di bawah 45 tahun.Biaya yang dikeluarkan setiap tahun untuk diagnosis dan pengobatan LBP mencapai 23,5 milyar pada tahun 1990 dan kerugian secara tidak langsung pada tahun yang sama termasuk karena hilangnya penghasilan diperkirakan mencapai 35 milyar (Amroisa, 2006).
Dari data diatas maka penulis ingin mengetahui hubungan antara intensitas nyeri dengan keterbatasan fungsional aktivitas sehari-hari pada penderita Low Back Pain (LBP)

C. Tujuan
1.    Tujuan Umum
Mampu melakukan tindakan pemberian injeksi intavena tidak lansung pada NY. N di ruang IGD
2.    Tujuan khusus
a.    Memahami konsep dasar LBP
b.    Mampu melakukan pengkajian terhadap NY.N
c.    Mampu membuat perencanaan tindakan
d.    Mampu melakukan injeksi intravena tidak lansung
e.    Mampu melakukan evaluasi hasil tindakan

D. Manfaat
1.   Manfaat Teoritis
a.   Diharapkan dapat menambah pengetahuan di bidang kedokteran tentang nyeri.
b.   Dapat digunakan sebagai salah satu bahan acuan dan manfaat bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
2.    Manfaat Praktis
a.    Meningkatkan perhatian klinisi pada rehabilitasi pasien-pasien dengan keterbatasan fungsional aktivitas sehari-hari akibatpenyakit muskulo skeletal untuk mengurangi keterbatasan yang dialami.
b.    Diharapkan klinisi dapat memberikan pilihan pengobatan yang lebih







BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.  Konsep Dasar Low Back Pain
1.    Pengertian  Low Back Pain
Nyeri punggung bawah adalah perasaan nyeri di daerah lumbasakral dan sakroiliakal, nyeri pinggang bawah ini sering disertai penjalaran ketungkai sampai kaki (yudiyanta,2007).
Herniasi diskus (carram) intervertebralis (HNP) merupakan penyebab utama nyeri punggung bawah yang berat, kronik dan berulang (kambuh), mungkin sebagai dampak trauma atau perubahan degeneratif yang berhubungan dengan proses penuaan (Tjokorda 2009).
Low back pain adalah nyeri kronik didalam lumbal, biasanya disebabkan oleh terdesaknya para vertebral otot, herniasi dan regenerasi dari nucleus pulposus,osteoartritis dari lumbal sacral pada tulang belakang. Low back pain (LBP) atau nyeri punggung bawah adalah suatu sensasi nyeri yang dirasakan pada daerah lumbasakral dan sakroiliakal atau pada diskus intervertebralis umumnya lumbal bawah, L4-L5 dan L5-S1, nyeri pinggang bawah ini sering disertai penjalaran ketungkai sampai kaki.(Suharto,2005).
Low back pain dapat berupa rasa sedikit pegal sampai nyeri sekali, sakit ini dapat timbul secara mendadak ataupun secara perlahan-lahan dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari.  Rasa sakit dapat dirasakan pada tubuh bagian belakang, dari tulang iga terakhir sampai bagian bawah bokong dan juga dapat menjalar ketungkai. (Ambarawati,2009).
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang actual maupun potensial. Definisi keperawatan tentang nyeri adalah, apapun yang menyakitkan tubuh yang dikatakan individu/seseorang yang mengalaminya, yang ada kapanpun orang tersebut mengatakannya, Peraturan utama dalam merawat pasien dengan nyeri adalah bahwa semua nyeri adalah nyata, meskipun penyebabnya tidak diketahui. Oleh karena itu, keberadaan nyeri adalah berdasarkan hanya pada laporan pasien.(Tjokorda,2009).

2.    Etiologi Low Back Pain (LBP)
Kebanyakan nyeri punggung bawah disebabkan oleh salah satu dari berbagai masalah muskuloskeletal (misal regangan lumbosakral akut, ketidak stabilan ligamen lumbosakral dan kelemahan otot, osteoartritis tulang belakang, stenosis tulang belakang, masalah diskus intervertebralis, ketidaksamaan panjang tungkai).
Penyebab lainnya meliputi obesitas, gangguan ginjal, masalah pelvis, tumor retroperitoneal, aneurisma abdominal dan masalah psikosomatik. Kebanyakan nyeri punggung akibat gangguan muskuloskeletal akan diperberat oleh aktifitas, sedangkan nyeri akibat keadaan lainnya tidak dipengaruhi oleh aktifitas.
1)    Perubahan postur tubuh biasanya karena trauma primer dan sekunder.
2)    Trauma primer seperti : Trauma secara spontan, contohnya kecelakaan.
3)    Trauma sekunder seperti : Adanya penyakit HNP, osteoporosis, spondilitis, stenosis spinal, spondilitis, osteoartritis.
4)    Ketidak stabilan ligamen lumbosacral dan kelemahan otot.
5)    Prosedur degenerasi pada pasien lansia.
6)    Penggunaan hak sepatu yang terlalu tinggi.
7)    Kegemukan.
8)    Mengangkat beban dengan cara yang salah.
9)    Keseleo.
10) Gaya berjalan.
11) Merokok.
12) Duduk terlalu lama.
13) Kurang latihan (oleh raga).

3.    Manifestasi Klinis
Pasien biasanya Mengeluh nyeri punngung akut maupun nyeri punggung kronis dan kelemahan. Selama wawancara awal kaji lokasi nyeri, sifatnya dan penjalarannya sepanjang serabut saraf (sciatica), juga dievaluasi cara jalan pasien, mobilitas tulang belakang, refleks, panjang tungkai, kekuatan motoris dan persepsi sensoris bersama dengan derajat ketidaknyamanan yang dialaminya.
Peninggian tungkai dalam keadaan lurus yang mengakibatkan nyeri menunjukkan iritasi serabut saraf. Pemeriksaan fisik dapat menemukan adanya spasme otot paravertebralis (peningkatan tonus otot tulang postural belakang yang berlebihan) disertai hilangnya lengkungan lordotik lumbal yang normal dan mungkin ada deformitas tulang belakang.
Bila pasien diperiksa dalam keadaan telungkup, otot paraspinal akan relaksasi dan deformitas yang diakibatkan oleh spasme akan menghilang. Kadang-kadang dasar organic nyeri punggung tak dapat ditemukan. Kecemasan dan stress dapat membangkitkan spasme otot dan nyeri.
Nyeri punggung bawah bisa merupakan anifestasi depresi atau konflik mental atau reaksi terhadap stressor lingkungan dan kehidupan. Bila kita memeriksa pasien dengan nyeri punngung bawah, perawat perlu meninjau kembali hubungan keluarga, variable lingkungan dan situasi kerja.
Secara praktis manifestasi klinis diambil dari pembagian berdasarkan sistem anatomi :
1)    LBP Viscerogenik
Tipe ini sering nyerinya tidak bertambah berat dengan adanya aktivitas maupun istirahat. Umumnya disertai gejala spesifik dari organ viseralnya. Lebih sering disebabkan oleh faktor ginekologik, kadang-kadang didapatkan spasme otot paravertebralis dan perubahan sudut ferguson pada pemeriksaan radiologik, nyeri ini disebut juga nyeri pinggang akibat referred pain.
2)    LBP Vaskulogenik
Tahap dini nyerinya hanya sakit pinggang saja yang dirasakan, nyeri bersifat nyeri punggung dalam, nyeri sering menjalar kebokong, belakang paha, dan kedua tungkai, nyeri sering menjalar kebokong, belakang paha, dan kedua tungkai.  Nyeri tidak timbul karena adanya stress spesifik pada kolumna vertebralis (membungkuk, batuk dan lain-lain).  Diagnosa ditegakkan apabila ditemukan benjolan yang berpulpasi.
3)    LBP Neurogenik 
Nyeri sangat hebat, bersifat menetap, sedikit berkurang pada saat bediri tenang, terutama dirasakan pada saat malam hari. Nyeri dapat dibangkitkan dengan aktivitas, dan rasa nyeri berkurang saat penderita berbaring, sering didapat kompresi akar saraf, ditemukan juga spasme otot paravertebralis.
4)    LBP Spondilogenik
Yang sering ditemukan adalah :
a) HNP : Nyeri disertai iskialgia, dirasakan sebagai nyeri pinggang, menjalar kebokong, paha belakang tumit sampai telapan kaki.
b) Miofasial : Nyeri akibat trauma pada otot fasia atau ligamen, keluhan berupa nyeri daerah pinggang, kurang dapat dilokasikan dengan tepat, timbul mendadak waktu melakukan gerakan yang melampau batas kemampuan ototnya.
c) Keganasan : Tumor ganas pada daerah vertebrae dapat bersifat primer atau sekunder. Pada foto rontgen terlihat adanya destruksi, pemeriksaan laboratorium terlihat adanya peningkatan alkalifostase.
d) Osteoporotik  : Terjadi pada lansia terutama wanita, nyeri bersifat pegal atau nyeri radikuler karena adanya fraktur kompresi sebagai komplikasi osterporosis tulang belakang.
5)    LBP Psikogenik
Keluhan nyeri hebat tidak seimbang dengan kelainan organik yang ditemukan, penderita memilih suatu mekanisme pembelaan terhadap ancaman rasa amannya dengan menghindarkan diri bila tidak melakukan hal tertentu.  Keadaan ini akan menyebabkan otot-otot dalam keadaan tegang sehingga meningkatkan spasme otot dan timbul rasa nyeri.
4.    Penatalaksanaan Low Back Pain (LBP)
Bagian kepala tempat tidur ditinggikan 30 derajat dan pasien sedikit menekuk lututnya atau berbaring miring dengan lutu dan panggul ditekuk dan tungkai dan sebuah bantal diletakkan dibawah kepala. Posisi tengkurap dihindari karena akan memperberat lordosis. Kadang-kadang pasien perlu dirawat untuk penanganan “konservatif aktif” dan fisioterapi. Traksi pelvic intermiten dengan 7 sampai 13 kg beban traksi. Traksi memungkinkan penambahan fleksi lumbal dan relaksasi otot tersebut..
Terapi kolam bergolak dikontraindikasikan bagi pasien dengan masalah kardiovaskuler karena ketidakmampuan mentoleransi vasodilatasi perifer massif yang timbul. Gelombang ultra akan menimbulkan panas yang dapat meningkatkan ketidaknyamanan akibat pembengkakan pada stadium akut.
Obat-obatan mungkin diperlukan untuk menangani nyeri akut. Analgetik narkotik digunakan untuk memutus lingkaran nyeri, relaksan otot dan penenang digunakan untuk membuat relaks pasien dan otot yang mengalami spasme, sehingga dapat mengurangi nyeri.
Obat antiinflamasi, seperti aspirin dan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), berguna untuk mengurangi nyeri. Kortikosteroid jangka pendek dapat mengurangi respons inflamasi dan mencegah timbulnya neurofibrosis yang terjadi akibat gangguan iskemia 
1)  Tirah baring :
Tempat tidur dengan alat yang keras dan rata untuk mengendorkan otot yang spasme, sehingga terjadi relaksasi otot maksimal. Dibawah lutut diganjal batal untuk mengurangi hiperlordosis lumbal, lama tirah baring tidak lebih dari 1 minggu. Kebanyakan nyeri punggung bisa hilang sendiri dan akan sembuh dalam 6 minggu dengan tirah baring, pengurangan stress dan relaksasi. Pasien harus tetap ditempat tidur dengan matras yang padat dan tidak membal selama 2 sampai 3 hari. Posisi pasien dibuat sedemikian rupa sehingga fleksi lumbal lebih besar yang dapat mengurangi tekanan pada serabut saraf lumbal
2)  Medika mentosa :
Menggunakan obat tunggal atau kombinasi dengan dosis semiminimal mungkin, dapat diberikan analgetik non-steroid, muscle relaxant, tranguilizer, anti depresan atau kadang-kadang obat blokade neuratik.

3)    Fisioterapi :
Dalam bentuk terapi panas, stimulasi listrik perifer, traksi pinggul, terapi latihan dan ortesa (kovset). Fisioterapi perlu diberikan untuk mengurangi nyeri dan spasme otot. Terapi bisa meliputi pendinginan (missal dengan es), pemanasan sinar infra merah, kompres lembab dan panas, kolam bergolak dan traksi. Gangguan sirkulasi, gangguan perabaan dan trauma merupakan kontra indikasi kompres panas.
4)    Psikoterapi :
Diberikan pada penderita yang pada pemeriksaan didapat peranan psikopatologi dalam timbulnya persepsi nyeri, pemberian psikoterapi dapat digabungkan dengan relaksasi, hyprosis maupun biofeedback training.
5)    Akupuntur :
Kemungkinan bekerja dengan cara pembentukan zat neurohumoral sebagai neurotras mitter dan bekerja sebagai activator serat intibitor desenden yang kemudian menutup gerbang nyeri.
6)    Terapi operatic :
Dikerjakan apabila tindakan konservatif tidak memberikan hasil yang nyata, atau kasus fraktur yang langsung mengakibatkan defisit neurologik, ataupun adanya gangguan spinger
7)    Latihan :
Latihan perlu dilakukan dengan hati-hati dan terarah agar tidak memperburuk keadaan, dapat dimulai pada hari ke 2 dan ke 3 kecuali jika penyebabnya adalah herniasi diskus.

B.  Konsep Dasar Intra Vena Tidak Langsung
1.   Pengertian Intra Vena Tidak Langsung
Injeksi intra vena adalah pemberian obat dengan cara memasukkan cairan obat langsung kedalam pembuluh darah vena, sehingga obat langsung masuk ke dalam tubuh melalui sirkulasi darah  (potter & perry:1991).
2.   Indikasi pemberian Obat Intra Vena Tidak Langsung
a.   Pada pasien dengan penyakit berat
b.   Pasien tidak bisa minum obat
c.   Kesadaran menurundan berisiko terjadi aspirasi
d.   Kadar puncak obat dalam darah perlu segera dicapai
e.   Pasien yang membutuhkan, agar obat yag di berikan dapat di berikan dengan cepat
f.    Pasien yang terus menurus muntah-muntah
g.   Pasien yang tidak di perkenakan memasukkan apapun juga lewat mulutnya
h.   Sesak nafas
i.    Epelepsi atau kejang-kejang

3.    Prosedur Tindakan Intra Vena Tidak Lansung
Menurut Ambarawati (2009), prosedur kerja intravena tidak lansung ada beberapa  fase, dapat diuraikan sebangan berikut :
1)    Fase orientasi
a)    Memberi salam/menyapa pasien
b)    Memperkenalkan diri
c)    Menjelaskan tujuan tindakan
d)    Menjelaskan langkah prosedur
e)    Menanyakan kesiapan pasien
2)    Fase kerja
a)    Menyiapkan alat dan bahan
b)    Memasang sampiran
c)    Mencuci tangan
d)    Memakai sarung tangan
e)    Memastikan tidak ada gelembung
f)     Mencari tempat penyuntikan di karet selang infus
g)    Memasang perlak dan pengalas
h)    Mendekatkan bengkok
i)      mendesinfeksi selang infus dengan kapas alcohol secara serkuler
j)      Mengklem cairan infus
k)    Menusuk jarum ke dalam karet selang infus
l)      Menarik sedikit penghisap untuk aspirasi apakah selang udah masuk ke selang infus
m)  Memakai kapas alcohol saat pencabutan spuit
n)    Periksa kecepatan tetesan cairan infus
o)    Membereskan alat,buang sutikan dalam seftibox
p)    Melepaskan sarung tangan,rendam dalam air clorin 0,5%selama 10 menit
q)    Mencuci tangan
3)    Fase terminasi
a)    Mengevaluasi tindakan
b)    Menyampaikan rencana tindak lanjut
c)    Berpamitan
d)    dokumentasi


























BAB III
TINJAUAN KASUS

A.  Profil Rumah Sakit
RSU Cut Meutia Lhoksemawe yakni salah satu Layanan Kesehatan milik Pemkab Kota Lhokseumawe yang bermodel RSU, diurus oleh  Pemda Kabupaten Aceh dan tergolong kedalam Rumah Sakit Kelas B. Layanan Kesehatan ini telah terdaftar sedari  31/10/2011 dengan Nomor Surat Izin  HK.03.05/I/2166/11 dan Tanggal Surat Izin  22/08/2011 dari  Menkes dengan Sifat  Tetap, dan berlaku sampai   -. Sehabis melangsungkan Metode AKREDITASI Rumah sakit Seluruh Indonesia dengan proses  Pentahapan I ( 5 Pelayanan) akhirnya diberikan dengan status  Lulus. RSU ini beralamat di Jl. Banda Aceh-Medan Km.6 Buket Rata Lhokseumawe, Kota Lhokseumawe, Indonesia.
Informasi Tambahan :
1.    Direktur : – drg. Nurhaida, MPH
2.    Kode Post : – 24375
3.    Nomor Telp : – 0645-46334
4.    Telepon Humas : –  –
5.    Fax : –  0645-46222
6.    Email : –  rscm2016@gmail.com
Deskripsi :
RSU Cut Meutia Lhoksemawe Mempunyai Layanan Unggulan dalam Bidang  Hemodialisa,CTSCAN,ECT,GeneXpert TB. RSU Kepunyaan Pemkab Kota Lhokseumawe ini Mempunyai Luas Tanah  113.808 dengan Luas Bangunan  78.130,60
Jumlah Kamar Menurut Kelas :
§  VVIP :  1 kamar, VIP :  12 kamar, 31 kamar, II :  11 kamar, III :  217 kamar, ICU :  7 kamar, PICU :  0 kamar, NICU :  9 kamar, HCU :  0 kamar, ICCU :  0 kamar, TT di IGD :  16 kamar,TT Bayi Baru Lahir :  7 kamar, TT Kamar Bersalin :  8 kamar,TT Ruang Operasi :  22 kamar, TT Ruang Isolasi :  0 kamar


B.  Tindakan Intra Vena Tidak Lansung
Rumah Sakit                                  : RSU Cut Meutia
Ruang Rawat/ Kamar                    : IGD
Tanggal Masuk                              : 04 Juli 2017
Tanggal Pengkajian                       : 05 Juli 2017
1.   Identitas Pasien:
Nama Pasien (inisial)                :NY.N
Tempat/Tgl  Lahir                      : 1958
Pendidikan Terakhir                  : SMA
Pekerjaan                                  : Petani
Telepon                                      : -
Alamat                                       :  Gandapura
2.   Riwayat Kesehatan Lalu           : Tidak bisa berjalan beberapa bulan yang
          lalu                                                         
3.   Riwayat Kesehatan Sekarang    : LBP
4.   Keluhan Utama                         : Pasien    dating    dengan    keluhan    sakit   
pinggang  sampai  kedua  kaki  kanan  dan kiri.
5.   Keluhan Tambahan                   : Pasien   mengeluh   sakit   ulu  hati  seperti
 terikat
6.   Pemeriksaan fisik (Inspeksi, Palpasi, Perkusi, Auskultasi, Olfaksio,):
Kepala                                     : Bersih tidak ada benjolan disekitar  kepala,
kelopak   mata  tidak  ada  oedema,  sklera tidak ikterik, konjungtiva tidak pucat,  mulut bersih, tidak ada caries  pada  gigi,  telinga bersih tidak ada serumen
Leher                                       : Tidak  ada  pembengkakan  kelenjar  tyroid
dan tidak ada pembesaran  kelenjar  getah   bening
Dada                                        : Payudara simetris kiri dan kanan
Punggung                                : Normal dan posisi tulang belkang lordosis
Ekstremitas                             : Tidak ada  odema  pada  ekstremitas  atas
                                                              dan bawah dan tidak ada varises
Genetalia                                 : Tidak dikaji
7.    Pemeriksaan penunjang         : RO ( X ray I)
- Injeksi ranitidine dosis 50 mg/ampul
- Injeksi Ketorolac dosis 30 mg/ampul
Pemeriksaan labolatorium
Hemoglobin                             : 11,1 g/dL
Erittrosit                                   : 3,90 juta/mm^3
Lekosit                                     : 8,30 ribu/mm3
Hemotokrit                              : 34,9  %
Indekeritrosit
MCV                                        : 90,ofL
MCH                                        : 28,8 pg
MCHC                                     : 31,8 %
RDW-CV                                 : 14,7 %
Trombosit                                 : 225 ribu/mm3
Kimia klinik
Kalbohidray
Glukosa drh                              : 117
8.    Diagnose medis                      : LBP
9.    Perencanaan              :
1)    Bina hubungan baik dengan pasien dan keluarga
2)    Penuhi kebutuhan cairan dan nutrisi
3)    Persiapkan alat-alat intra vena tidak lansung
4)    Beritahu pasien dan keluarga tentang tindakan yang akan dilakukan
5)    Pantau kemajuan setelah dilakukannya intra vena tidak lansung
6)    Jaga privasi
7)    Dokumentasi hasil intra vena tidak lansung yang telah dilakukan
10.   Pelaksanaan                           :
1)    Membina hubunga baik dengan pasien dan keluarga seperti 5 S (senyum, salam, sapa, sopan, santun)
2)    Memenuhi kebutuhan cairan dan nutrisi yaitu dengan memasang infus RL 20 tetes/menit
3)    Mempersiapkan alat-alat persiapan intra vena tidak lansung
a)    Spuit steril 3 ml atau 5 ml
b)    Obat injeksi dalam bentuk vial atau ampul
Ranitidine 50 mg, keterolac 30mg
c)    Kapas alcohol
d)    Sarung tangan
e)    Tempat injeksi wastafel
4)    Melakukan tindakan intra vena
a)    Memakai sarung tangan
b)    Memastikan melakukan injeksi pada benar pasien
c)    Menyiapkan alat dan bahan dan mendekatkan ke pasien
d)    Membina hubungan baik dengan pasien
e)    Memberitahukan dan menjelaskan pada pasien tindakan apa yang akan kita lakukan
f)     Mengatur posisi pasien senyaman mungkin
g)    Memastikan tidak ada gelembung udara pada spuit
h)    Mencari tempat penyuntikan obat pada karet selang infuse
i)      Memastikan cairan infuse
j)      Menusukkan jarum kedalam karet selang infuse
k)    Memasukkan obat perlahan-lahan
l)      Menarik jarum keluar setelah  obat dimasukkan
m)  Mengatur tetesan infuse kembali
n)    Membereskan alat suntikan dan membuang kedalam seftybox
o)    Melepas sarung tangan
p)    Mencuci tangan di air mengalir
5)    Memantau kemajuan setelah dilakukannya intra vena
6)    Menjagan privasi pasien
7)    Mendokumentasikan hasil intra vena
11.   Evaluasi                                              
Alat-alat sudah disiapkan, infus telah terpasang dengan tetesan 20 tetes/menit, pasien telah diinjeksi obat ranitidine,ketorolac secara intra vena tidak lansung. Dilakukannya intra vena supaya  mendapat reaksi obat secara cepat diabsosbsi daripada ijeksi parenteral lain.






BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan pengkajian yang telah kami lakukan pada NY,N yang datang kerumah sakit dengan keluhan nyeri pinggang menjalar sampai ke lutut dirasakan sejak kurang lebih 1 tahun yang lalu, pasien merasakan tidak biasa berjalan sejak 2 hari ini, kedua kaki terasa kebas,pasien juga mengeluh nyeri ulu hati seperti terikat yang dirasakan sejak kurang lebih 1 bulan yang lalu.
Dalam prosedur pelaksaan intravena tidak langsung pada NY,N terdapat kesenjangan dengan teori Ambarawati ( 2009 ) yaitu :
1.   Tidak memperkenalkan diri lagi karna pasien sudah 3 hari di rawat.
2.   Tidak memasang sampiran karna tidak ada privasi
3.   Tidak memasang pengalas karna tidak keluar darah
4.   Tidak meletakkan kapas alcohol saat pencabutan sutikan karena tidak ada darah yang keluar
5.   Tidak menarik penghisap untuk aspirasi karna infus yang terpasang sudah masuk dalam vena.
6.   Tidak melepaskan sarung tangan kedalam air clorine karna pada lahan praktek tidak di budayakan melepaskan sarung tangan dalam clorine tetapi sarung tangn langsung dibuang ke dalam tong sampah infeksius
















BAB V
KESIMPULAN

A.   KESIMPULAN
Low Back Pain adalah nyeri kronik didalam lumbal,biasanya disebabkan oleh terdesaknya para vertebral otot, herniasi dan regenerasi dari nucleus pulposus,osteoartritis dari lumbal sacral pada tulang belakang
Low back pain dapat terjadi pada siapasaja yang mempunyai masalah pada muskuloskeletal seperti ketegangan lumbosacral akut,ketidak mampuan ligamen lumbosacral,kelemahan otot,osteoartritis,spinal stenosis serta masalah pada sendi inter vertebra dan kaki yang tidak sama panjang.
Kebanyakan nyeri punggung bawah disebabkan oleh salah satu dari berbagai masalah muskuloskeletal (misal regangan lumbosakral akut, ketidakstabilan ligamen lumbosakral dan kelemahan otot, osteoartritis tulang belakang, stenosis tulang belakang, masalah diskus intervertebralis, ketidaksamaan panjang tungkai), Penyebab lainnya meliputi obesitas, gangguan ginjal, masalah pelvis, tumor retroperitoneal, aneurisma abdominal dan masalah psikosomatik. Kebanyakan nyeri punggung akibat gangguan muskuloskeletal akan diperberat oleh aktifitas, sedangkan nyeri akibat keadaan lainnya tidak dipengaruhi oleh aktifitas.

B.  SARAN
Diharapkan siswa mampu memahami tentang bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan low back pain sehingga dapat meningkatkan kesehatan pekerja yang ada di masyarakat.









DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth, Alih Bahasa Monica Ester, SKP ; Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Volume 1, EGC, Jakarta, 2002
Brunner & Suddarth, Alih Bahasa Monica Ester, SKP ; Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Volume 3, EGC, Jakarta, 2002
Ruth F. Craven, EdD, RN, Fundamentals Of Nursing, Edisi II, Lippincot, Philadelphia, 2000
Wim de Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, Cetakan I, EGC, Jakarta, 1997