BENTUK JAMINAN DALAM BISNIS

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Kegiatan pinjam meminjam uang telah dilakukan sejak lama dalam kehidupan masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran. Dapat diketahui bahwa hampir semua masyarakat telah menjadikan kegiatan pinjam meminjam uang sebagai alat sesuatu yang sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan kegiatan perekonomiannya dan untuk meningkatkan taraf kehidupannya. Pihak pemberi pnjaman yang mempunyai kelebihan uang bersedia meminjamkan uang kepada yang memerlukan. Sebaliknya, pihak peminjam berdasarkan keperluan atau tujuan tertentu melakukan peminjaman uang tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa pihak peminjam meminjam uang kepada pihak pemberi pinjaman untuk membiayai kebutuhan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari atau untuk memenuhi keperluan dana guna pembiayaan kegiatan usahanya.
Selanjutnya dalam kegiatan pinjam meminjam uang yang terjadi di masyarakat dapat diperhatikan bahwa umumnya sering dipersyaratkan adanya penyerahan jaminan utang oleh pihak peminjam kepada pihak pemberi pinjaman. Jaminan utang dapat berupa barang (benda) sehingga merupakan jaminan kebendaan dan atau berupa janji penanggungan utang sehingga merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak kebendaan kepada pemegang jaminan.
Hukum jaminan merupakan himpunan ketentuan yang mengatur atau berkaitan dengan peminjaman dalam rangka utang piutang (pinjaman uang) yang terdapat dalam berbagai peraturan perundangan-undangan yang berlaku saat ini. (M. Bahsan S.H., S.E. h. 1-3. 2008)
Bank dalam memberikan kredit kepada pengusaha/nasabah wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan, krena kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanannya bank harus memperhatikan asas perkreditan yang sehat.
Sehubungan dengan jaminan utang, pemahaman tentang hukum jaminan sebagaimana yang terdapat dalam berbagai peraturan perundangan-undangan yang berlaku sangat diperlukan agar pihak-pihak yang berkaitan dengan penyerahan jaminan kredit dapat mengamankan kepentingannya, antara lain bagi bank sebagai pihak pemberi kredit. Peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan hukum jaminan yang dikodifikasi adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUH Dagang), sedangkan yang berupa undang-undang, misalnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah (UU No. 4 Tahun 1996), dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. (UU No. 42 Tahun 1999)
Bank dalam memberikan kredit kepada pengusaha/nasabah wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan, karena kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat.
Untuk mengurangi resiko tersebut, jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank.
Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal dan agunan serta prospek usaha debitur, yang dalam usaha Perbankan dikenal dengan sebutan 5 c.
Jelaslah, bahwa agunan mewrupakan salah satu syarat pemberian kredit, jadi, apabila asas 5 c terpenuhi, maka diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur, dan kepada debitur yang bersangkutan dapat diberikan kredit.

   
B.  Rumusan Masalah
1)      Ruang Lingkup Hukum Jaminan Dalam Bisnis
2)      Kredit Perbankan di Indonesia

C.  Tujuan
1)      Untuk mengetahui Ruang Lingkup Hukum Jaminan Dalam Bisnis
2)      Untuk mengetahui Kredit Perbankan di Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Ruang Lingkup Hukum Jaminan Dalam Bisnis
Ruang lingkup hukum jaminan di Indonesia mencakup berbagai ketentuan perundang-undangan yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan penjaminan utang yang terdapat dalam hukum positif di indonesia.
Dalam hukum positif di indonesia terdapat peraturan perundang-undangan yang sepenuhnya mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan penjaminan utang. Materi (isi) peraturan-peraturan perundang-undangan tersebut memuat ketentuan-ketentuan yang secara khusus mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan penjaminan utang. Beberapa ketentuan yang terdapat dalam KUH perdata dan KUH Dagang mengatur sepenuhnya atau berkaitan dengan penjaminan utang. Disamping itu terdapat pula undang-undang tersendiri yaitu UU No. 4 Tahun 1996 dan UU No. 42 Tahun 1999 yang masing-masing khusus mengatur tentang lembaga jaminan dalam rangka penjaminan utang. Sehubungan dengan berbagai peratutran perundang-unangan tersebut diatas lebih lanjut dapat di kemukakan beberapa ketentuan hukum jaminan sebagai berikut.
Jaminan adalah sejenis harta yang dipercayakan kepada pengadilan untuk membujuk pembebasan seorang tersangka dari penjara, dengan pemahaman bahwa sang tersangka akan kembali kepersidangan atau membiarkan jaminannya hangus (sekaligus menjadikan sang tersangka bersalah atas kejahatan kegagalan kehadiran).
1.    Ketentuan Hukum Jaminan dalam KUH Perdata
Dalam KUH perdata tercantum beberapa ketentuan yang dapat digolongkan sebagai hukum jaminan.
a)      Prinsip-prinsip Hukum Jaminan
Beberapa prinsip hukum jaminan sebagaimana yang diatur oleh ketentuan-ketentuan KUH Perdata adalah sebagai berikut.


1)      Kedudukan Harta Pihak Peminjam
Pasal 1131 KUH Perdata mengatur tentang kedudukan harta pihak peminjam, yaitu bahwa harta pihak peminjam adalah sepenuhnya merupakan jaminan (tanggungan) atas utangnya.
Pasal 1131 KUH Perdata menetapkan bahwa semua harta pihak peminjam, baik yang berupa harta bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari merupakan jaminan atas perikatan utang pihak peminjam.
Ketentuan pasal 1131 KUH Perdata merupakan salah satu ketentuan pokok dalam hukum jaminan, yaitu mengatur tentang kedudukan harta pihak yang berutang (pihak peminjam) atas perikatan utangnya. Berdasarkan ketentuan pasal 1131 KUH Perdata pihak pemberi pinjaman akan dapat menuntut pelunasan utang pihak peminjam dari semua harta yang bersangkutan, termasuk harta yang masih akan dimilikinya di kemudian hari. Pihak pemberi pinjaman mempunyai hak untuk menuntut pelunasan utang dari harta yang akan diperoleh oleh pihak peminjam di kemudian hari.
2)      Kedudukan Pihak Pemberi Pinjaman
Kedudukan pihak pemberi pinjaman terhadap pihak pemberi pinjaman dapat diperhatikan dari ketentuan pasal 1132 KUH Perdata.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata dapat disimpulkan bahwa kedudukan pihak pemberi pinjaman dapat dibedakan atas dua golongan, yaitu (1) yang mempunyai kedudukan berimbang sesuai dengan piutang masing-masing, dan (2) yang mempunyai kedudukan didahulukan dari pihak pemberi pinjaman yang lain berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan.
Dalam praktik perbankan pihak pemberi pinjaman disebut kreditor dan pihak peminjam disebut nasabah debitur atau debitur.
3)   Larangan memperjanjikan pemilikan objek jaminan utang oleh pihak pemberi pinjaman
Pihak pemberi pinjaman dilarang memperjanjikan akan memiliki objek jaminan utang bila pihak peminjam ingkar janji (wanprestasi). Ketentuan yang demikian diatur oleh Pasal 1154 KUH Perdata tentang Gadai, Pasal 1178 KUH Perdata tentang Hipotek.
Larangan yang sama terdapat pula dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lain, yaitu pada pasal 12 UU No. 4 Tahun 1996 mengenai Hak Tanggungan, Pasal 33 UU No. 42 Tahun 1999 mengenai Jaminan Fidusia.

2.    Gadai
Gadai diatur oleh ketentuan-ketentuan Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUH Perdata. Pengertian gadai dalam Pasal 1150 KUH perdata adalah sebagai berikut.
“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya; dengan mengecualikan biaya untuk melelang barang tersebt dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya tersebut harus didahulukan”.
Lembaga jamianan gadai dalam praktek perbankan hanya dipakai sebagai jaminan tambahan, meskipun sebenarnya kreditur dalam hal debiturnya ingkar janji, berhak untuk menjual objek gadai melalui pelelangan yang dilaksanakan atas permohonan dari kreditur oleh Kantor Lelang Negara. Dalam hal objek gadai adalah saham atau surat-surat berharga lainnya dapat dilakukan di tempat-tempat tersebut, asalkan dengan perantaraan dua orang makelar yang dalam perdagangan barang-barang itu.

3.    Hipotek
Lembaga jaminan yang diatur oleh ketentuan KUH Perdata, pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 adalah Hipotek. Akan tetapi, dengan berlakunya UU No. Tahun 1996, objek jaminan utang berupa tanah sudah tidak dapat diikat dengan hipotek. Hipotek pada saat ini hanya digunakan untuk mengikta objek jaminan utang yang ditunjuk oleh ketentuan peraturan perundang-undangan lain.[9]
4.    Penanggungan Utang
Dalam bahasa Belanda disebut Borgtocht, dalam bahasa Inggris disebut Guarantee, yang diatur dalam pasal 1820 sampai dengan pasal 1850 KUH Perdata, tidak banyak dipakai dalam bisnis perbankan, dan andainya pun dipakai, hanya sekedar sebagai jaminan tambahan. Hal itu disebabkan, oleh karena baik dalam personal, maupun Corporate Guarantee, penanggung, Borg atau Guarant, tetap menguasai harta yang dijaminkan, seperti telah tidak terjadi apa-apa, dan ia tetap dapat secara leluasa menjual, mengoperkan dan membebankan hartanya itu dengan lembaga jaminan yang lain, dengan perkataan lain, justru oleh karena penanggung diperkenankan secara bebas melakukan hal-hal itu, maka kreditur tidak terjamin secara sempurna.
Adapun pengertian dari penanggungan utang dalam pasal 1820 KUH Perdata adalah sebagai berikut. “penanggungan utang adalah suatu perjanjian penjaminan utang yang sangat terkait kepada perorangan (individu atau badan hukum) yang mengikat dirinya sebagai jaminan atas utang dari pihak peminjam dan pihak yang mengikat dirinya disebut penaggung atau penjamin.”

B.  Kredit Perbankan di Indonesia
Dalam memberikan kredit, bank selalu memakai prinsip 5 C, yaitu The Five Principles of Credit Analysis, yang menghendaki penelitian yang seksama mengenai watak dan kemampuan berusaha debitur, modal apa yang sudah di milikinya, jaminan apa yang dapat diberikan dan keadaan perekonomian Negara pada umumnya yang sekiranya dapat mendukung usaha debitur. Untuk mengurangi resiko kemungkinan terjadinya kredit macet, selain melakukan analisa yang akurat berdasarkan asas 5 C tersebut di atas, bank juga akan melakukan monitoring usaha debitur secara berkesinambungan.[12]
Landasan hukum yang pokok untuk kegiatan perbankan di Indonesia pada saat ini adalah UU perbankan Indonesia 1992/1998. Undang-undang tersebut mengatur tentang kelembagaan dan operasional bank komersial di Indonesia, yaitu bank yang berfungsi melayani kebutuhan jasa perbankan masyarakat.
1.    Pemberian Kredit menurut Ketentuan UU Perbankan Indonesia 1992/1998
Pemberian kredit adalah salah satu kegiatan usaha yang sah bagi Bank Umum dan Perkreditan Rakyat. Kedua jenis bank tersebut merupakan badan usaha penyalur dana kepada masyarakat dalam bentuk pemberian kredit di samping lembaga keuangan lainnya. Dalam UU Perbankan Indonesia 1992/1998 terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan pemberian kredit, di antaranya adalah sebagai berikut.

a)      Kredit Berkaitan dengan Penyaluran Dana ke Masyarakat
Pasal 1 angka 2 UU Perbankan Indonesia 1992/1998 menetapkan pengertian bank sebagai berikut. “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnyadalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”

b)      Pengertian Kredit
Kredit adalah pemberian prestasi oleh suatu pihak lain yang akan dikembalikan lagi pada suatu masa tertentu disertai dengan kontra prestasi berupa bunga dengan kata lain, uang atau yang diterima sekarang akan dikembalikan pada masa yang akan datang sedangkan dalam arti ekonomi, Kredit adalah penandaan.
Pengertian formal mengenai kredit perbankan di Indonesia terdapat dalam ketentuan Paal 1 angka 11 UU Perbankan Indonesia 1992/1998. Undang-undang tersebut menetapkan: “kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.”

Berdasarkan pengertian kredit yang ditetapkan oleh undang-undang sebagaimna tersebut di atas, suatu pinjam-meminjam uang akan digolongkan sebagai kredit perbankan sepanjang memenuhi unsure-unsur sabagai berikut.
1)      Adanya penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan penyediaan uang
2)      Adanya persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain
3)      Adanya kewajiban melunasi utang
4)      Adanya jangka waktu tertent
5)      Adanya pemberian bunga kredit

Kelima unsur yang terdapat bdalam pengertian kredit sebagaimana yang disebutkan di atas harus dipenuhi bagi suatu pinjaman uang untuk dapat disebut sebagai kredit di bidang perbankan. Walaupun istilah kredit banyak pula digunakan untuk kegiatan perutangan lainnya di masyarakat, hendaknya untuk istilah kredit dalam kegiatan perbankan selalu dikaitkan dengan pengertian yang ditetapkan oleh ketentuan Pasal 1 angka 11 UU Perbankan Indonesia 1992/1998.

c. Pemberian Kredit adalah Usaha yang Sah bagi Bank
Pasal 6 huruf b dan Pasal 13 huruf b UU Perbankan Indonesia 1992/1998 masing-masing menetapkan kredit sebagai usaha bagi Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Dengan dicantumkan pemberian kredit sebagai usaha bank dalam ketentuan undang-undang, maka kegiatan pemberian pinjaman uang ke masyarakat yang dilakukan bank telah mempunyai dasar hokum yang kuat. Bank dengan demikian tidak dapat digolongkan sebagai rentenir atau lintah darat yang sering tidak disukai oleh masyarakat. Pemberian kredit adalah usaha yang sah bagi bank sebagai badan usahadan sesuai dengan salah satu fungsi utamanya sebagai penyalur dana masyarakat.



d. Pelaksanaan Pemberian Kredit
Menurut Pasal 8 UU Perbankan Indonesia 1992/1998, dalam melaksanakan kegiatan usahanya yang berupa pemberian kredit, bank antara lain:
1)      Wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan (Pasal 8 ayat (1));
2)      Memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (Pasal 8 ayat (2));

Sehubungan dengan ketentuan undang-undang yang mengatur tentang pelaksanaan pemberian kredit tersebut di atas, maka Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat wajib melakukan analisis kredit yang mendalam atas permohonan kredit yang diajkan oleh calon debitur, dan memiliki serta menerapkan pedoman perkreditan dalam melaksanakan perkreditannya.
a.    Analisis kredit
Mengenai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan ang diperjanjikan, maka hal itu dijelaskan lebih lanjut oleh penjelasan Pasal 8 ayat (1).
Berdasarkan analisis kredit yang dilakukannya, bank akan memberikan keputusan menolak atau menyutujui permohonan calon debitur. Oleh karena itu, setiap analisis kredit harus memuat penilaian yang lengkap dan sempurna sehingga dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan peraturan intern dan peraturan perundang-undangan lainnya.

b.    Pedoman perkreditan
Kewajiban memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan sebagaimana yang ditetapkan oleh ketentuan pasal 8 ayat (2) lenih lanjut diatur dengan SK Direksi BI No. 27/162/KE/DIR.
SK Direksi BI tersebut menetapkan kewajiban semua Bank Umum untuk memiliki dan menerapkan Kebijaksanaan Perkreditan Bank (KBP) dalam pelaksanaan kegiatan perkreditannya dan juga melampirkan Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan Perkreditan Bank (PPKPB).
KPB yang kemudian disertai dengan Petunjuk Palaksanaan Kredit (PPK) merupakan peraturan intern masing-masing Bank yang harus dipatuhi dalam pelaksanaan pemberian kreditnya.

e. Batas Maksimum Pemberian Kredit
Pasal 11 UU Perbankan Indonesia 1992/1998 menetapkan ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yang berlaku antara lain untuk pemberian kredit oleh bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam atau pihak yang terkait dengan bank. BMPK yang ditetapkan bagi peminjam atau sekelompok peminjam yang tidak terkait dengan bank adalah tidak melebihi 30% dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan bagi pihak yang terkait dengan bank tidak melebihi 10% dari modal bank. Ketentuan lebih lanjut mengenai BMPK tersebut diatur oleh PBI No 7/3/PBI/2005 dan perubahannya dengan PBI No. 8/13/PBI/2006.

Selanjutnya, dari penjelasan Pasal 11 yang menjelaskan tentang B<PK tersebut dapat disimpulkan antara lain sebagai berikut.
1)      Pemberian kredit mengandung resiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasannya sehingga dapat berpengaruh terhadap kesehatan bank. Risiko yang dihadapi bank dapat berpengaruh pula kepada keamanan dana masyarakat yang disimpan di bank.
2)      Oleh karena itu, untuk memelihara kesehatan dan meningkatkan daya tahannya, bank diwajibkan menyebar resiko dengan mengatur penaluran kredit sedemikian rupa sehingga tidak terpusat pada debitur atau kelompok debitur tertentu.
Terhadap pelanggaran ketentuan BMPK di kenakan sanksi oleh Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam PBI No 7/3/PBI/2005 dan perubahannya dengan PBI No. 8/13/PBI/2006.

f. Pemberian Kredit Terkait dengan Ketentuan Pembinaan dan Pengawasan Bank
Pasal 29 ayat (3) UU Perbankan Indonesia 1992/1998 menetapkan bahwa dalam pemberian kredit, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank

Dari penjelasan Pasal 29 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat diketahui hal sebagai berkut.
1)      Bank wajib memiliki dan menerapkan system pengawasan intern dalam rangka menjamin terlaksananya proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
2)      Mengingat bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang dismpan pada bank atas dasar kepercayaan, setiap bank oerlu terus menjaga dan memelihara kepercayaan masyarakat padanya.
Dengan memperhatikan ketentuan pasal 29 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Perbankan Indonesia 1992/1998 dan penjelasannya tersebut, pemberian kredit harus mendapat pengawasan berdasarkan system pengawasan intern yang berlaku pada masing-masing bank agar dapat menjaga kesehatannya dan memelihara kepercayaan masyarakat kepadanya.
Demikian beberapa hal yang diatur oleh ketentuan UU perbankan Indonesia 1992/1998 yang berkaitan dengan kredit perbankan. Hal lain mengenai pengaturan pemberian kredit adalah yang berkaitan dengan ketentuan sanksi pidana dan administratif yang tercantum dalam undang-undang tersebut[14]

g. Unsur-unsur kredit, terdiri dari:
1)      Kepercayaan: Kredit diberikan atas dasar kepercayaan
2)      Waktu: Kredit selalu ada jangka waktunya
3)      Risiko: Setiap kredit selalu mengandung unsur risiko
4)      Prestasi: Kredit mengandung prestasi berupa pembayaran bunga



h. Tujuan Pemberian Kredit
Bagi bank: a) Profitability, artinya ada keuntungan yang diperoleh secara wajar b)Safety, artinya harus aman dengan risiko yang telah dimitigasi sebelumnya.
1)   Bagi nasabah: memberikan manfaat yang positif bagi masyarakat luas, dan meningkatkan produktivitas usaha.
2)   Bagi masyarakat umum: dapat menunjang pertumbuhan ekonomi nasional, dan meningkatkan kesempatan kerja.

i.      Prosedur Kredit
1)   Merencanakan Pasar Sasaran. Bank harus mempunyai perencanaan, pasar mana yang akan dituju dalam memasarkan kreditnya, misalkan fokus pada sektor ritel/
2)   Menentukan kriteria risiko yang dapat diterima. Bank hanya memasarkan kredit apabila kriteria risikonya jelas dan dapat dimitigasi, misalkan dengan: menetapkanlimit exposure, jenis usaha (dibuat ratingnya, dan rating apa saja yang layak dibiayai), lokasi dsb nya.
3)   Menentukan kriteria nasabah kredit yang diberikan, berdasar pada kriteria nasabah yang jelas.
j. Putusan Kredit
Setiap pemberian kredit harus melalui mekanisme proses dan prosedur baku, antara lain:
1)      Ada permohonan kredit secara tertulis
2)      Dilengkapi dengan dokumen yang dipersyaratkan
3)      Disertai dengan proposal kredit
4)      Dibuat rekomendasi dan putusan kredit
5)      Dibuat pemberitahuan putusan kredit secara tertulis
6)      Melakukan perjanjian kredit secara hokum
7)      Proses pencairan kredit
8)      Melakukan pengawasan dan evaluasi
Pada dasarnya tujuan pemberian kredit haruslah didasarkan pada kelayakan usaha, agar usaha yang dibiayai dapat berkembang, menyerap tenaga kerja, dan pada akhirnya dapat menyumbang peningkatan ekonomi masyarakat disekitarnya.



BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Ketentuan yang terdapat dalam KUH perdata dan KUH Dagang mengatur sepenuhnya atau berkaitan dengan penjaminan utang. Disamping itu terdapat pula undang-undang tersendiri yaitu UU No. 4 Tahun 1996 dan UU No. 42 Tahun 1999 yang masing-masing khusus mengatur tentang lembaga jaminan dalam rangka penjaminan utang.
Pasal 1131 KUH Perdata mengatur tentang kedudukan harta pihak peminjam, yaitu bahwa harta pihak peminjam adalah sepenuhnya merupakan jaminan (tanggungan) atas utangnya. Ketentuan pasal 1131 KUH Perdata merupakan salah satu ketentuan pokok dalam hukum jaminan, yaitu mengatur tentang kedudukan harta pihak yang berutang (pihak peminjam) atas perikatan utangnya. Berdasarkan ketentuan pasal 1131 KUH Perdata pihak pemberi pinjaman akan dapat menuntut pelunasan utang pihak peminjam dari semua harta yang bersangkutan, termasuk harta yang masih akan dimilikinya di kemudian hari. Pihak pemberi pinjaman mempunyai hak untuk menuntut pelunasan utang dari harta yang akan diperoleh oleh pihak peminjam di kemudian hari.
Ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata dapat disimpulkan bahwa kedudukan pihak pemberi pinjaman dapat dibedakan atas dua golongan, yaitu (1) yang mempunyai kedudukan berimbang sesuai dengan piutang masing-masing, dan (2) yang mempunyai kedudukan didahulukan dari pihak pemberi pinjaman yang lain berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan.

B.  Saran
Hukum jaminan merupakan himpunan ketentuan yang mengatur atau berkaitan dengan peminjaman dalam rangka utang piutang (pinjaman uang) yang terdapat dalam berbagai peraturan perundangan-undangan yang berlaku saat ini. (M. Bahsan S.H., S.E. h. 1-3. 2008)
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang No. 5 tahun 1960, tanggal 24 September 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tanggal 25 Maret 1992 tentang Perbankan
Undang-Undang No. 4 tahun 1996, tanggal 9 April 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
Undang-Undang No. 42 tahun 1999, tanggal 30 September 1999 tentang Jaminan Fidusia.
  

  


KATA PENGANTAR
                 Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNya sehingga Makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
                 Dan harapan kami semoga Makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi Makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak kekurangan dalam laporan ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan Makalah ini.


MatanggeulumpangDua,     Juli  2017

Penulis



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................  ii
DAFTAR ISI .................................................................................................  iii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................  1
A.      Latar Belakang .....................................................................................  1
B.       Rumusan Masalah ................................................................................  3
C.       Tujuan Penelitian .................................................................................  3
BAB II PEMBAHASAN ..............................................................................  4
A.    Ruang Lingkup Hukum Jaminan Dalam Bisnis ....................................  4
B.     Kredit Perbankan di Indonesia .............................................................  7
BAB III PENUTUP ......................................................................................  15
A.    Kesimpulan  .........................................................................................  15
B.     Saran  ...................................................................................................  15
DAFTAR PUSTAKA